Khasiat Dan Manfaat Keladi Tikus Untuk Kanker Stadium Berat
Thursday, January 12, 2017
Tanaman yang dulunya kita anggap tidak berguna, tidak sedap dipandang mata, pengganggu tumbuhan lain dan harus dimusnahkan begitu saja, sanggup saja dikemudian hari menjadi sangat berguna dan dicari orang. Salah satunya yaitu keladi tikus, si tumbuhan abnormal yang ditemukan di Indonesia . Tanaman ini terbukti sanggup membunuh aneka macam jenis sel kanker dalam waktu relatif singkat. Para
penderita kanker di Indonesia sanggup mempunyai impian hidup yang lebih usang dengan ditemukannya tumbuhan “keladi tikus” (Typhonium Flagelliforme/Rodent Tuber) sebagai tumbuhan obat yang sanggup menghentikan dan mengobati aneka macam penyakit kanker dan aneka macam penyakit berat lain.
Tanaman homogen talas yang banyak tumbuh di jawa ini mempunyai tinggi maksimal 25 hingga 30 sentimeter dan hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. Biasa juga di temukan disamping rumah yang tidak terkena sinar matahari langsung. Umbi keladi tikus ini berbentuk bundar rata sebesar buah pala. Bagian dalam maupun luar umbi berwarna putih. Untuk perkembangbiakannya, sanggup memakai umbinya atau anakan yang tumbuh dari umbi tersebut. Pada ekspresi dominan kemarau, batangnya menghilang. Sedangkan pada ekspresi dominan hujan, tumbuhan ini muncul lagi di atas permukaan tanah dari umbi yang terpendam di dalam tanah. Mahkota bunganya berbentuk panjang kecil berwarna putih menyerupai dengan ekor tikus, dari sinilah nama keladi tikus diberikan. Namun ada beberapa jenis yang mempunyai kelopak bunga berwarna merah. Untuk jenis yang ini biasanya dikembangkan untuk tumbuhan hias hasil silangan.
Di Indonesia, tumbuhan ini pertama dipakai oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah.
Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.
“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter menyampaikan biar kami menyiapkan wig (rambut palsu) alasannya kemoterapi akan menjadikan kerontok an rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan”, terperinci Patoppoi. Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif hingga karenanya beliau mendapat gosip mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker. “Saat itu juga saya eksklusif terbang keMalaysia untuk membeli teh tersebut,” ujar Patoppoi yang juga hebat biologi. Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja beliau melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996. “Setelah saya baca sekilas, eksklusif saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi eksklusif pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum.
Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini eksklusif menilik dan mencari tumbuhan tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di aneka macam tempat, familinya di Pekalongan, Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan tumbuhan itu disana . Setelah mendapat tumbuhan tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tumbuhan yang ditemukannya itu. Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tumbuhan tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo menyampaikan biar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi. Akhirnya, dengan tekad bundar dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tumbuhan tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran,Sidoarjo untuk ikut mencarikan tumbuhan tersebut.
“Setelah melihat ciri-ciri tumbuhan tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan eksklusif saya dapatkan tumbuhan tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya ketika itu. Selama mengkonsumsi sari tumbuhan tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan dampak samping kemoterapi yang dijalani nya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu sayapun kembali normal,” lanjut Boni. Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani investigasi kankernya. “Hasil investigasi negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter diJakarta ,” kata Patoppoi.
Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isteri nya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah menunjukkan takaran kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi. Setelah diterangkan mengenai dongeng tumbuhan Rodent Tuber, para dokter pun mendukung pengobatan derma tersebut dan menyarankan biar mengembangkan nya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami dampak samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan investigasi yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali. “Tetapi alasannya sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tumbuhan sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.
Setelah beberapa usang tidak berhubungan, menurut peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr. Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa tumbuhan tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr.Teo untuk membuatkan penggunaan tumbuhan ini di Indonesia. “Kemudian Dr. Teo eksklusif membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, alasannya jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan biar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan biar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam perjuangan konkret membantu penderita kanker di Indonesia.
Di kantor Pusat Cancer Care Penang,Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tumbuhan yang ketika ditemukan mempunyai nama Indonesia . Ternyata ketika Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi biar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya . Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan forum sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih Empat No. 5, Jakarta , telp. 021-4894754, dan di Buduran, Sidoarjo.
Menurut data Cancer Care Malaysia, aneka macam penyakit yang telah disembuhkan yaitu aneka macam kanker dan penyakit berat menyerupai kanker payudara, paru-paru, usus besar- rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis. Makara dibutuhkan biar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran RinggitMalaysia selama 5 tahun sanggup benar-benar berguna bagi dunia kesehatan.
Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.
“Sebelum menjalani kemoterapi, dokter menyampaikan biar kami menyiapkan wig (rambut palsu) alasannya kemoterapi akan menjadikan kerontok an rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan”, terperinci Patoppoi. Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif hingga karenanya beliau mendapat gosip mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker. “Saat itu juga saya eksklusif terbang ke
Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini eksklusif menilik dan mencari tumbuhan tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di aneka macam tempat, familinya di Pekalongan, Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan tumbuhan itu di
“Setelah melihat ciri-ciri tumbuhan tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan eksklusif saya dapatkan tumbuhan tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya ketika itu. Selama mengkonsumsi sari tumbuhan tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan dampak samping kemoterapi yang dijalani nya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu sayapun kembali normal,” lanjut Boni. Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani investigasi kankernya. “Hasil investigasi negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di
Setelah beberapa usang tidak berhubungan, menurut peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr. Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa tumbuhan tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr.Teo untuk membuatkan penggunaan tumbuhan ini di Indonesia. “Kemudian Dr. Teo eksklusif membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, alasannya jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan biar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan biar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam perjuangan konkret membantu penderita kanker di Indonesia.
Di kantor Pusat Cancer Care Penang,
Menurut data Cancer Care Malaysia, aneka macam penyakit yang telah disembuhkan yaitu aneka macam kanker dan penyakit berat menyerupai kanker payudara, paru-paru, usus besar- rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis. Makara dibutuhkan biar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran Ringgit
Keladi tikus mengandung antineoplastik atau antikanker selain juga sanggup mempunyai kegunaan sebagai antivirus. Efek farmakologi inilah yang menjadi obat utama untuk mengatasi kanker stadium lanjut. Bagian yang dipakai untuk pengobatan yaitu keseluruhan dari tumbuhan tersebut. Mulai dari akar (umbi), batang, daun hingga bunga. Tentu saja, dampak tersebut akan bertambah baik jika diberikan gotong royong dengan tumbuhan lainnya, menyerupai sambiloto, rumput mutiara dan temu putih. Ekstrak Typhonium flageffiforme clan materi alami lainnya membantu detoxifikasi jaringan darah. Ramuan ini mengandung ribosome inacting protein (RIP), zat antioksidan dan zat antikurkumin. RIP berfungsi menonaktifkan perkembangan sel kanker, merontokkan sel kanker tanpa merusak jaringan sekitarnya dan memblokir pertumbuhan sel kanker. Zat antioksidan berfungsi mencegah terjadinya kerusakan gen. Sementara zat antikurkumin berfungsi sebagai antiinflamasi/antiperadangan. Kombinasi materi alami ini mengaktivasi dengan memproduksi perantara yang menstimulasi untuk menguatkan sel dari sistem kekebalan badan untuk bersamasama memberantas sel kanker. Di Cina tumbuhan ini di teliti oleh Zhong Z, Zhou G, Chen X, dan Huang P dari Guangxi Institute of Traditional Medical and Pharmaceutical Sciences, Nanning. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui dampak farmakologis dari Typhonium flagelliforme. Diketahui bahwa ekstrak air dan alkohol dari Typhonium flagelliforme mempunyai dampak mencegah batuk, menghilangkan dahak, antiasmatik, analgesik, antiinflamasi, dan bersifat sedatif.